EVERNA Kucing Bersepatu Bot - Andry Chang








KUCING BERSEPATU BOT


Andry Chang





Tak terlalu jauh
dari Cadoban, ibukota Kerajaan Corazon ada sebuah daerah yang agak terpencil
bernama Carabas. Daerah itu terdiri dari beberapa desa dan pusatnya adalah
sebuah puri megah yang berdiri di atas sebuah bukit berbunga.


Tuan rumah
puri itu adalah seorang bangsawan terhormat bergelar Marquis. Namanya adalah
Enrique de la Fontana. Pria berusia empat puluhan itu tak berkeluarga dan konon
adalah seorang pendekar pedang anggar yang amat piawai. Tak banyak pelayan yang
berkerja di puri itu, berhubung sang tuan rumah jarang keluar rumah dan
cenderung penyendiri.


Suatu hari,
suara gedoran amat keras yang bertalu-talu di pintu utama puri amat mengganggu
acara baca buku sore sang bangsawan. Belum sempat Enrique menyuruh pelayannya
menanyakan tingkah-laku tidak sopan itu, pintu besar dijebol seperti suara
ledakan dan sesosok pria raksasa masuk.


Secepat kilat
tuan rumah mengambil pedang anggarnya dan berhadap-hadapan dengan si raksasa
dari balkon. “Asal kau tahu bung, Pedang Escudo Coniferia milikku mampu melubangi zirah besi dan gunung batu cadas.
Jadi, keluar kau dari sini! Aku tak mau mengotori karpet puri ini dengan
darahmu!”


“Hngh, aku tak
takut dengan pedangmu,” tanggap si raksasa berjanggut pirang lebat itu sambil
mendengus. “Aku, Magno Ferguso telah menguasai ilmu gaib, yaitu mengubah wujud
diriku sendiri atau siapapun menjadi hewan apa saja sekehedakku. Karena itulah
aku ingin hidup mewah bagai raja-raja. Puri Carabas ini amat indah dan sempurna
untuk kurebut jadi tempat tinggalku.”


“Dasar
takabur! Biar kuberi kau pelajaran!” Sambil berseru, Enrique meloncat dari
balkon dengan pedang terhunus, siap melubangi tulang dahi si raksasa dengan
satu tusukan saja.


Sadar dirinya
adalah sasaran yang besar nan empuk, dengan sigap Ferguso berubah wujud menjadi
seekor serigala hitam. Terkejut, Enrique nyaris kehilangan keseimbangan dan bisa
patah tulang bila jatuh dari balkon ke lantai bawah dalam keadaan begitu.
Untunglah ia cepat-cepat menancapkan pedangnya pada pilar terdekat, membiarkan
bilah pedang menggores pilar pualam itu untuk menahan laju jatuhnya.


Baru saja kaki
si pendekar menjejak lantai, terkaman serigala sudah menyambutnya. Enrique
berkelit cepat, berputar dan meluncurkan rentetan tusukan dengan Coniferia. Si serigala sempat mundur,
namun Enrique terus mencecar sambil berlari lebih cepat lagi dari hewan itu.


Setelah lebih
dari semenit kejar-kejaran, tiba-tiba si serigala hitam kembali berubah ke
wujud semula, yaitu si raksasa. Ternyata sihir Ferguso tak bertahan lama dan
bisa luntur sewaktu-waktu dalam hitungan menit saja.


Tentu Enrique
tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan cepat-cepat menusuk tepat ke arah
mata si raksasa yang sebesar buah apel. Namun si raksasa tak kehabisan akal.
Kembali ia berubah wujud menjadi hewan yang lebih kecil lagi, yaitu seekor
tikus.


Enrique
berdecak kesal, tusukannya yang hanya menembus udara. Kini ia menoleh
kesana-kemari kewalahan, mencari-cari tikus yang lebih gesit dan lebih sulit
dilacak dengan mata manusia biasa itu.


Si tikus sengaja
berputar-putar mengelilingi Enrique sambil sesekali mencakar kakinya. Alhasil,
si manusia berlari-lari, berputar-putar dan menusuk-nusuk kebingungan. Dua
menit telah berlalu dan sihir si raksasa tak kunjung luntur. Akibatnya, Enrique
mulai terhuyung kepusingan.


Saat itulah si
raksasa kembali ke wujud semula, lalu merengkuh tubuh Enrique dengan telapak
tangannya bagai sedang mengangkat seekor kucing.


Ferguso
menatap Enrique yang sudah setengah pingsan itu sambil tertawa terbahak-bahak.
“Puri Carabas jadi milikku, Don Enrique! Tapi jangan takut, sebagai tanda
terima kasih aku tak akan membunuh kamu. Aku bahkan akan memberikan hidup baru
yang lebih pantas dan lebih bebas untukmu! Rasakanlah sihir pamungkasku, Wujud Satwa Abadi!”


Satu telapak
tangan si raksasa yang bebas lantas berpendar kehijauan. Lalu Ferguso
menekankan telapak itu pada dada Enrique. Si manusia berteriak, tersiksa
melebihi batas ketahanan tubuhnya.


Perlahan tapi
pasti, tubuh Enrique seakan menyusut. Bulu-bulu jingga jahe tumbuh dan memenuhi
seluruh tubuhnya. Bahkan wajah, telinga dan seluruh kepala Enriquepun berubah.
Sinar hijau kembali membungkus tubuh pria malang itu. Ferguso melepaskan
genggamannya dan Enrique jatuh di lantai.


Si raksasa
terduduk dengan napas terengah-engah, energi sihirnya terkuras. Namun
kondisinya ini masih jauh lebih baik dibanding lawannya. “Wah, ternyata itu ya
hewan yang terpendam dalam dirimu. Harus kuakui, kau sungguh manis, Pus.” Ferguso
tertawa terbahak-bahak.


Saat kesadaran
Enrique kembali pulih dan ia melihat tangan dan tubuhnya sendiri, ia baru
menyadari arti panggilan “Pus” pada dirinya itu. Ternyata ia telah menjadi
seekor kucing.


Sadar dirinya
tak mungkin menang melawan si raksasa, si kucing kelabu cepat-cepat menggigit
gagang pedang yang tergeletak di lantai, tepat di sampingnya. Ia berniat lari
lewat pintu depan, sayang si raksasa menghadangnya.


“Aku tahu
niatmu, tapi jangan berharap banyak, bung,” sergah Ferguso. “Kutukan tadi itu
akan tetap ada seumur hidupmu, kecuali ada sihir lain yang jauh lebih kuat dari
ini untuk membatalkannya. Kalaupun ingin bertingkah laku dan bergerak seperti
manusia, setidaknya kau harus mengenakan sepatu. Itulah kata penyihir yang
mengajariku sihir Wujud Satwa Abadi itu.
Nah, nikmatilah hidupmu sebagai kucing sampai akhir hayatmu, Don Enrique!”


Enrique
bicara, ternyata ia masih bisa bersuara dan berbahasa manusia. “Terkutuk kau, Ferguso!
Suatu hari aku akan merebut kembali Puri Carabas darimu!”


Si manusia
raksasa makin tergelak hingga perut buncitnya bergoyang-goyang. “Mustahil,
selama aku masih bernyawa! Pergilah sana selamanya, kucing pengganggu! Hus!
Hus!”


Ferguso seakan
hendak menghantam alih-alih mengusir si kucing. Terpaksa Enrique
pontang-panting menghindar dan mencoba menusukkan pedangnya.


Dalam satu
usaha terakhir, si kucing mendoncang maju secepat empat kakinya berlari. Bilah
pedang yang digigitnya itu sempat menorehkan luka dekat tumit si raksasa yang
tak bersepatu. Jadi, saat Ferguso memegangi tumitnya sambil meringis kesakitan,
Enrique memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri lewat pintu depan Puri
Carabas.


“Maafkan aku,
para abdiku!” gumam si kucing. “Suatu hari aku akan membebaskan kalian semua!”


Tanpa menoleh
sekalipun ke belakang, Enrique terus berlari menyusuri jalan setapak dan tiba
di desa terdekat, yaitu Pua Leto.


Sebenarnya
dalam wujud kucing Enrique harusnya dapat menempuh jarak antara Carabas dan Pua
Leto tanpa henti dan tiba dalam kondisi segar-bugar, tak seperti manusia yang
pasti roboh kelelahan. Namun akibat segala tekanan, luka dan tenaga yang terkuras
akibat pertarungan dengan Ferguso tadi, si kucing akhirnya roboh tak sadarkan
diri di depan kincir angin, rumah seorang pengirik gandum.


Pak pengirik
gandum tua lantas menemukan kucing dan pedang istimewa itu di teras rumahnya.
Tergerak oleh belas kasihan, si pengirik membawa si kucing masuk, merawatnya
hingga pulih dan memeliharanya sebagai hewan kesayangan dan pengusir tikus.
Sementara pedang escudo itu dibuatkan sarung dan disimpan baik-baik seolah itu
adalah hartanya yang paling berharga.


Selama tinggal
di rumah si pengirik gandum miskin itu, si kucing yang dinamai Puss oleh
majikannya hanya mengeong dan tak sekalipun bicara dengan bahasa manusia hingga
waktu yang tepat tiba. Alasan Puss sederhana, ia harus menyembunyikan aslinya
sebagai Don Enrique de la Fontana. Setidaknya hingga ia menemukan calon yang
tepat untuk menggantikannya sebagai Marquis dari Carabas.





==oOo==





Tahun demi
tahun berlalu. Pergantian pemilik Puri Carabas membuat desa-desa di bawah
kuasanya dengan cepat melupakan si tuan tanah. Daerah Carabas yang tak pernah
masuk dalam peta Negeri Corazon jadi makin terlupakan.


Walaupun
terbebas dari kewajiban membayar pajak pada tuan tanah, penduduk desa-desa di
Carabas masih dirundung kesulitan. Dari waktu ke waktu, ada saja ternak atau
binatang hutan yang hilang. Tanda-tanda bekas cakaran di pohon-pohon dan
pagar-pagar peternakan menunjukkan bahwa pelakunya pasti sekawanan serigala.


Belum lagi
bahan-bahan makanan nabati dan bukan daging seperti gandum, keju dan lain
sebagainya banyak yang digondol tikus. Yang paling jarang terjadi adalah
beberapa penduduk desa yang tiba-tiba menghilang. Yang kadang ditemukan adalah
sisa-sisa jenazah dan tulang-belulang manusia yang telah menjadi mangsa singa. Masalah-masalah
semacam ini terus berlangsung tanpa bisa dipecahkan. Akhirnya para penduduk
hanya bisa pasrah saja.


Tak seorangpun
tahu persis siapa sebenarnya pelaku segala teror itu selain Puss si kucing.
Namun satwa jelmaan Enrique itu memilih diam dan hanya membasmi tikus-tikus
lain saja.


Toh tikus
sakti dan cerdas bernama Ferguso itu tak berani menyatroni rumah yang ada
kucingnya. Lagipula tuannya bukan peternak, sehingga ia bebas dari ancaman
serigala sakti.


Ada hal lain
yang membuat Puss kuatir. Majikannya, si pengirik gandum sudah tua dan sakit-sakitan.


Pria itu
memiliki tiga orang putra. Putra sulung, Edoardo dan putra tengah, Rafael
bersifat pemalas, pemboros dan sering menjahili kucing seperti dirinya.


Sebaliknya,
putra ketiga, Diego rajin bekerja dan penuh perhatian pada sang ayah dan Puss. Sayang,
usianya baru enam belas tahun. Ia tak bisa mengambil inisiatif dan keputusan
sendiri, selalu hanya patuh dan menurut pada perintah kedua kakaknya saja.


Ingin Puss
minggat saja untuk mencari calon murid yang lebih pantas daripada Diego. Namun
Puss tak kunjung pergi, karena ia ingin membalas budi dengan bekerja dan
menemani majikannya sampai pak tua itu berpulang.


 Suatu hari, pak pengirik gandum sakit keras
dan ia memanggil ketiga putranya. Merasa ajalnya sudah dekat, ia
membagi-bagikan seluruh hartanya yang tak seberapa sebagai warisan.


Edoardo yang
tertua mendapatkan kincir angin sekaligus alat pengirik dan penggiling
gandumnya.


Putra kedua,
Rafael mewarisi keledai yang selama ini menjalankan perangkat pengirik gandum
menggantikan tenaga manusia.


Sedangkan
untuk putra ketiga, Diego, sang ayah mewariskan kucing kesayangannya, Puss.


Hanya Edoardo
saja yang diam-diam tersenyum di balik tangisnya. Ia meninggalkan kamar ayahnya
untuk menyusun rencana-rencana baru.


Merasa kecewa
dan patah arang, Rafael keluar dari kamar dengan kepala tertunduk. Beberapa
hari kemudian, ia bakal menjual keledai itu pada kakaknya dan pergi merantau.


Setelah tabib,
pendeta desa dan kepala desa juga meninggalkan ruangan itu, tinggal Diego yang
masih duduk di sisi ranjang ayahnya. Namun wajahnya jelas mengguratkan raut
kecewa.


Sebagai orang
yang lurus dan jujur, Diego bertanya, “Ayah, mengapa hanya Puss saja yang ayah
wariskan padaku? Bukankah kucing hanya berguna untuk menangkap tikus saja? Aku
jelas tak punya uang untuk memberinya makan. Ini sama saja aku tak mendapatkan
warisan apa-apa!”


Dengan
perlahan sang ayah menjawab, “Diego, dengarkan ayah baik-baik. Puss adalah kucing
yang istimewa. Dulu ayah menemukannya tengah memeluk sebuah pedang istimewa
berbilah logam langka, escudo. Ambillah pedang itu di... peti pakaian ayah.”


Setelah Diego
mengambil pedang besar yang anehnya terasa ringan itu, ia bertanya lagi, “Apa
aku sebaiknya menjual kucing dan pedang ini saja?”


“Itu terserah
kamu, nak. Tapi firasat ayah berkata, kau ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih
besar daripada jadi pengirik gandum sepertiku. Dan ayah percaya, Puss dan
pedang escudo itu adalah kunci yang akan membuka pintu menuju kemungkinan,
peluang dan takdir yang belum terungkap itu.”


“Lantas,
mengapa bukan Kak Edoardo atau Kak Rafael saja yang mewarisi itu? Mereka jauh
lebih kuat dan lebih gagah daripada diriku.”


“Itu karena
hanya itu saja yang mereka punya. Kau tulus, rajin dan baik hati. Dengan arahan
yang tepat, kau bisa jadi kuat pula.”


Walau dahinya
masih berkerut dan pikirannya masih dirundung duka, akhirnya Diego mengangguk
pelan. “Baiklah, aku akan mengikuti petunjuk ayah.”


Si pengirik
gandum menarik napas panjang. “Ah, baguslah. Aku kini dapat... pulang pada
Vadis... tanpa penyesalan... Karena setidaknya... salah satu putraku punya
peluang... untuk bernasib lebih baik daripada sebatas jadi... pengirik...
gandum...”


Kepala si pria
tua itu tergolek ke samping, teriring embusan napas terakhirnya.


Melihat itu,
Diego menangis sejadi-jadinya sambil memeluk jenazah sang ayah.


Ironisnya,
hanya pendeta desa saja yang kembali ke kamar itu untuk menyampaikan doa. Bisa
dibayangkan bagaimana perjalanan hidup Diego kelak kalau ia tetap diam di
kincir pengirikan kakaknya.


Setelah
mengatur soal pemakaman sang ayah dengan pendeta, Diego kembali bersama Puss
dan juga pedang escudo di tangannya ke kamarnya di puncak menara kincir angin
untuk menenangkan diri.


Melihat Diego
tengah berdiam diri dan bermuram durja, Puss memanjat ke ranjang tempat Diego
duduk bersandar. Lalu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun silam Puss
bicara dengan bahasa manusia, “Rupanya kau adalah majikan baruku sekarang, Tuan
Diego.”


Diego terkejut
dan hampir pingsan melihat kucingnya bisa bicara seperti dirinya. Ia
menunjuk-nunjuk dan suaranya bergetar. “K-kau ini apa? Bagaimana bisa...?”


Si kucing
menjawab dengan tenang, cenderung penuh gaya. “Tak usah heran. Kau tinggal di
Everna, dunia berjuta keajaiban, bukan? Wajar saja ada kucing jadi-jadian yang
bisa bicara! Jangan pingsan dan dengarkan aku dulu. Sikapmu saat ayahmu
berpulang tadi sungguh mengharukan.”


“Huh,
benarkah? Wajar dan biasa saja kalau anak berduka atas kepergian ayahnya.”


“Tapi itu jadi
menarik karena di antara kalian tiga bersaudara hanya kau yang peduli pada
ayahmu. Jadi, tinggal satu masalah yang perlu kita pastikan.”


“M-masalah
apa?”


“Begini, asal
kau tahu, semula aku berniat meninggalkan tempat pengirikan gandum ini segera
setelah ayahmu wafat. Tapi, ternyata ayahmu mewariskan aku dan pedangku
padamu.”


Diego
mendelik, wajahnya makin pucat.


Melihat itu,
Puss menghela napas. “Kurasa aku tak punya pilihan selain menerimamu sebagai
majikan dan muridku. Andai aku meninggalkanmu, kau bakal selamanya jadi budak
kakak tertuamu Edoardo, bukankah begitu?


Sebelum Diego
sempat menjawab, Puss kembali bicara, “Pasti begitu! Nah, kalau kau benar-benar
ingin memenuhi pesan terakhir ayahmu, kau harus mengikuti setiap petunjuk
dariku...”


“T-tapi, aku
ini kan...?”


“... Tanpa
banyak tanya,” potong Puss. “Kalau kau tak menurut satu kali saja, anggap saja
kesempatan untukmu mengukir nama besar sudah lenyap, puff, seperti sulap. Kau
mengerti, kan?”


“Ya, aku
mengerti, Puss.” Sifat Diego yang penurut memang cocok dengan watak si kucing
penjelmaan bangsawan bernama Don Enrique de la Fontana ini.


“Baiklah, latihan
pertamamu akan dimulai pagi-pagi setelah hari ayahmu dikebumikan. Sebelum itu,
buatkan aku sepatu bot dan topi lebar yang sesuai dengan ukuranku.”


“T-tapi ongkos
pembuatannya bakal menguras uang tabungan yang telah kukumpulkan
bertahun-tahun!” protes Diego.


Mendengar itu,
Puss berbalik hendak pergi membawa pedangnya di moncongnya.


Tapi Diego
cepat-cepat menahan Puss dengan berseru, “Tunggu, jangan pergi! Baiklah, aku
akan mengusahakan topi dan sepatunya besok pagi!”


Puss berbalik,
senyum puas pertama kini bisa tergurat di wajah kucingnya.


Diego menghela
napas. Ia baru saja mendapatkan seorang guru yang menyebalkan.





==oOo==





Singkat
cerita, setelah sang ayah dikebumikan, Diego jadi agak bebas tapi kelaparan.


Pasalnya, si
kakak sulung, Edoardo mengelola tempat pengirikan gandum itu dengan separuh
hati. Ia hanya menerima pesanan dan tinggal menyuruh Diego mengirik gandum
dengan bantuan keledai yang ia beli dari Rafael.


Tak terlalu
lama, para langganan yang sudah muak dengan kemalasan dan pelayanan Edoardo
yang lamban lebih rela pergi ke desa tetangga untuk mengirik gandum hasil panen
mereka.


Pasti percuma
bila Diego memperingatkan kakaknya yang pemalas itu. Jadi, daripada buang
waktu, lebih baik ia berlatih saja di bawah bimbingan gurunya, Puss.


Kini, sikap
Puss si kucing jadi lebih mirip manusia. Mungkin itu karena kutukan sihir si
raksasa yang kurang sempurna atau semata-mata anugrah dari Vadis.


Dengan memakai
sepatu bot, Puss kini bisa berdiri tegak di atas dua kaki belakangnya.
Jari-jari dan telapak kedua kaki depannya melebar dan memanjang sehingga ia
bisa menggenggam pedang dan tetap bisa menggunakan cakar kucingnya. Topi lebar
Puss yang berhias bulu burung berfungsi melindungi bulu-bulu tubuh pemakainya
yang memang tidak suka air dan paling tidak suka kehujanan.


Puss terus
menggembleng Diego dengan mengajarinya ilmu pedang, etiket kebangsawanan dan
segala ilmu pengetahuan yang penting sebagai bekal dan modal untuk meraih
peluang besar kelak. Sifat dasar Diego yang penurut, gigih dan rajin membuatnya
menyerap semua ilmu itu dengan amat cepat dan lancar.


Bahkan, dalam
latih-tanding Diego akhirnya berhasil melucuti pedang kayu dari tangan gurunya.


“Bagus,” ujar
Puss sambil bertepuk cakar. “Kau telah menguasai dasar-dasar ilmu pedang
anggar, juga beberapa jurus andalanku. Semua pengetahuan dasar termasuk etika
kebangsawanan juga telah cukup kaukuasai. Jadi kini kita akan melangkah ke
tahap kedua dan aku harus pergi.”


Diego
mendelik, bingung. “Lho, apa maksud guru?”


“Kau akan
segera tahu. Aku harus pergi ke ibukota dulu untuk sementara waktu. Kau
teruskanlah berlatih pedang dan belajar dari buku-buku yang kupinjamkan padamu.
Tingkatkan terus kemampuan dan kekuatanmu, siapa tahu suatu hari kau akan
melampaui aku.”


“Baik, guru.”
Semula Diego patuh karena takut pada ancaman Puss. Tapi kini, setelah menikmati
semua ajaran dan pelatihan yang ada, remaja itu mengiyakan semua petunjuk
gurunya dengan senyum tulus.





==oOo==





Dalam
perjalanan menuju Cadoban, ibukota Kerajaan Corazon, Puss si kucing jingga
membawa sebuah karung besar kosong yang ia ambil dari tempat pengirikan gandum.
Ia melintasi Desa Pua Leto dan desa-desa lain yang sejalur dengan arah
perjalanannya.


Tanpa
seorangpun tahu atau bisa menangkapnya, Puss mengambil beberapa wortel, sayur-mayur,
buah-buahan dan jelai-jelai gandum yang amat ranum dari ladang-ladang dan
kebun-kebun di desa-desa tersebut. Ia sengaja memilih hasil bumi terbaik yang
memang jadi unggulan di daerah Carabas ini.


Setelah
berjalan dan tak lupa singgah dan beristirahat di beberapa tempat, Puss tiba di
Cadoban. Tak buang waktu, ia terus berjalan ke istana raja. Di ranah magis,
Everna kucing yang bisa berjalan tegak bukan pemandangan aneh tapi nyata, jadi
Puss melintasi kota dan bahkan memasuki istana tanpa memancing perhatian,
apalagi kecurigaan siapapun.


Di balairung, Puss
membungkuk sambil membuka topinya dengan ritme gerakan yang sempurna. Ia
berkata pada Raja Carlos, penguasa Corazon, “Yang Mulia, perkenankanlah aku
mempersembahkan hadiah istimewa dari tuanku, Marquis dari Carabas.”


Ia lantas
membuka karung besarnya dan memperlihatkan isinya pada raja.


“Ini semua
adalah hasil bumi unggulan dari tanah kami, daerah Carabas.”


Raja menyuruh pengawal
pribadinya membawakan contoh hadiah itu kepadanya. Yang dibawa adalah sebuah
apel merah segar yang lebih besar daripada ukuran rata-rata.


“Astaga, aku
baru sadar Tanah Corazon bisa memberi hasil panenan sebagus ini.” Raja berdecak
sambil mengelus janggut hitamnya. “Apa hanya hasil panen sajakah yang istimewa
dari Carabas?”


“Tidak hanya
hasil panen saja. Hasil ternak, permata dan bahkan hewan-hewan hutanpun sungguh
istimewa, lebih unggul dari hasil daerah-daerah lainnya di negeri ini.”


“Itukah
menurutmu? Baik, aku terima hadiah ini. Selanjutnya, buktikanlah kebenaran kata-katamu.”


Di hari-hari
berikutnya, Puss Sepatu Bot makin sering bepergian bolak-balik dari Cadoban ke
Carabas. Secara teratur kucing itu mengunjungi sang raja, membawa kelinci
hutan, burung kuau, kalkun, permata dan bahkan bijih escudo. Ia mempersembahkan
semuanya pada raja atas nama Marquis dari Carabas.


Sang raja
berkata pada Puss, “Katakan pada tuanmu aku senang menerima hadiah-hadiahnya.
Semua itu membuatku penasaran pada daerah ini... Carabas, katamu?”


“Ya, Baginda,”
jawab Puss.


“Aneh, aku tak
pernah melihat Daerah Carabas dalam peta atau mendengar namanya disebut oleh
para menteri atau pejabat lainnya di jajaran pemerintahan. Kenyataan ini memicu
keingintahuanku, karena itulah aku ingin secara pribadi berkunjung ke daerah
itu dan menemui tuanmu. Di manakah letak Daerah Carabas itu?”


“Di belahan
timur Corazon yang dikelilingi pegunungan. Cara untuk sampai ke sana mudah
saja, yaitu menyusuri pesisir Sungai Olgazzo.”


“Kalau begitu
pulanglah, sampaikan pesan pada tuanmu bahwa aku akan datang lusa bersama
putriku, Patricia. Persiapkanlah penyambutan yang layak.”


“Hamba
laksanakan, Yang Mulia.”


Raja Carlos
lantas menghadiahkan sebuah pedang anggar mungil dengan sabuk dan sarung kulit
bertatahkan permata pada Puss, tanda kekagumannya pada kucing yang amat cerdas
itu. Tanpa buang waktu lagi, Puss bergegas pulang menemui majikan merangkap
muridnya, memberitahu Diego tentang kunjungan-kunjungannya ke istana raja dan
rencana kunjungan raja itu.


Puss lantas
berkata, “Kalau kau menuruti nasihatku, kau akan beruntung. Aku ingin kau
berenang di sungai dan pura-pura kena kram. Kalau ada yang menanyakan namamu,
kau harus bilang bahwa kau adalah Don Diego de la Fontana, Marquis dari Carabas
dan serahkan selebihnya padaku.”


“Marquis dari
Carabas? Bukankah ia telah menghilang bertahun-tahun silam? Bukankah itu
berarti aku harus berbohong?” protes Diego.


“Tolong jangan
sok suci dan merusak rencana besar ini. Turuti dan laksanakan saja!” bentak
Puss.


“B-baik,
Guru.”





==oOo==





Diego
melaksanakan nasihat kucing itu. Saat pemuda itu masih berendam di air sungai,
diam-diam Puss membawa pergi semua pakaiannya dan menyembunyikannya di
semak-semak. Namun pedang escudo tetap ia bawa bersama pedang kecilnya sendiri
yang selalu disandangnya.


Saat kereta
raja tiba, Puss lari ke arahnya sambil berteriak, “Tolong! Tolonglah tuanku,
Marquis dari Carabas! Kumohon, tolonglah!”


Mendengar
teriakan itu, sang raja memerintahkan sais menghentikan kereta dan bertanya ada
masalah apa.


Sambil
membungkuk di hadapan raja, Puss berkata, “Oh! Yang Mulia, tuanku sedang mandi
dan seseorang mencuri pakaiannya. Ia akan kena kram dan tenggelam.”


Sang raja
memerintahkan hulubalangnya mengambil salah satu pakaian cadangan terbaiknya,
lalu membantu sang bangsawan muda keluar dari kolam. Saat Diego memakai pakaian
raja itu, penampilannya jadi amat gagah seperti seorang pangeran. Untunglah
perawakannya hampir sama dengan sang raja.


“Yang Mulia,
inilah junjunganku, Don Diego de la Fontana, Marquis dari Carabas.” Dengan
anggun Puss memperkenalkan si bungsu pada Raja Carlos dan Putri Patricia.


Walaupun Diego
miskin, ia tampak setampan dan segagah seorang pangeran, tak diragukan lagi.


Sang raja
mengundang Diego untuk duduk dalam keretanya dan berkata ia akan mengantarnya
pulang. Puss berkata, “Ah, sayang kuda tuanku juga hilang dicuri. Kumohon,
pinjamkan kami kuda. Biar Don Diego dan aku kembali dulu ke Puri Carabas untuk
memastikan semuanya baik-baik saja. Aksi pencurian tadi pasti dimaksudkan untuk
mencegah Baginda mengakui Daerah Carabas dan penguasanya.”


Carlos
mengangguk dan memerintahkan petugas meminjamkan kudanya yang tercepat pada
Diego.


Puss
memberitahu sais ke mana harus pergi dan lari jauh di depan kereta itu
melintasi ladang bersama Diego. Untunglah Diego juga sudah diajari dan
menguasai cara menunggang kuda kampung, jadi ia berderap dengan amat cepat dan
anggun.


Sepanjang
jalan, Diego dan Puss bertemu beberapa orang pembuat jerami. Puss
memperingatkan mereka, “Bila sang raja bertanya pada kalian milik siapa ladang
ini, katakan ini milik Marquis dari Carabas.”


Salah seorang
dari mereka menyanggah, “Tapi kami sudah tidak lagi...!”


Puss menyela,
“Raja Carlos telah mengakui Daerah Carabas, karena itulah beliau berkunjung
kemari. Jadi kalau kalian salah bicara, raja akan anggap kalian berkhianat dan
menghukum mati kalian di tempat.”


Para pembuat
jerami begitu ketakutan sehingga mereka berjanji untuk mematuhi si kucing. Puss
dan Diego meninggalkan mereka dan menyampaikan peringatan yang sama pada siapapun
yang mereka temui sepanjang jalan. Ditambah penampilan Diego yang meyakinkan,
semua warga baru sadar dan mengira ada Marquis baru di Carabas.


Sang raja yang
lama kemudian lewat dan melihat para pembuat jerami merasa ingin tahu, jadi ia
bertanya, “Milik siapakah ladang-ladang bagus ini?”


Para pembuat
jerami menjawab, “Semua ini milik Marquis dari Carabas, Baginda.”


Carlos
tersenyum riang dan menoleh pada putrinya. “Tanah milik Don Diego ini sungguh
bagus! Ia sungguh tuan tanah yang berbakat. Kurasa sudah saatnya kita
mencantumkan Carabas dalam peta.”


Selepas
mengitari daerah pedesaan, Puss berkata pada Diego, “Ikut aku ke Puri Carabas.
Kita akan merebutnya kembali dari penguasa palsu itu.”


Puss dan Diego
memastikan pedang-pedang mereka tersarung dan tersandang rapi. Lalu Diego
memacu kudanya dan Puss berlari secepat mungkin ke puri di atas bukit di tengah
lembah itu.


Diego
memandangi menara-menara yang menjulang megah itu sambil berdecak kagum. “Ternyata
ini tempat tinggal tuan tanah Carabas. Seperti istana raja saja!”


“Ya, tapi aku
sungguh kuatir. Para abdiku sudah diam-diam mengambil buku-buku perpustakaan
dari sana untukmu. Harap saja mereka tak ketahuan Ferguso.”


“Apa katamu,
Puss? Jadi kau...!”


“Kau akan tahu
segalanya saat kita menghadapi si Ferguso itu. Ayo Diego, waktu amat mendesak.”


“Tak ada jalan
mundur lagi sekarang.” Kali ini mata Diego seakan berkilat. Ia tahu betul, ini
adalah saat penentuan hidup atau mati bagi dirinya.





==oOo==





Sebagai mantan
pemilik Puri Carabas, Puss si kucing tentu tahu betul “jalan tikus” rahasia
untuk menyusup ke tempat yang pernah jadi rumahnya ini. Alhasil, kini Puss dan
Diego sudah berada dalam puri dan bergegas menuju balairung utama.


Tiba di
ruangan yang terhitung amat luas itu, Puss dan Diego terkejut dan ternganga.
Ternyata si raksasa pengubah wujud, Magno Ferguso sudah duduk bersila, menunggu
mereka di tengah balairung itu.


“Ah, senangnya
aku mendapat tamu setelah bertahun-tahun menghuni puri ini.” Si raksasa
berlagak sopan. “Selamat datang di Puri Ferguso, Don Enrique.”


Diego
terenyak. Jadi itulah nama asli Puss. Ternyata kucingnya itu jelmaan Marquis
Carabas yang asli.


Puss menatap
jijik ke sekitarnya. Kotoran, sampah dan tulang-belulang yang berserakan di
mana-mana jelas menegaskan lebih baik puri itu berganti nama daripada
mencemarkan nama baik Carabas.


“Sudahlah, Ferguso.
Simpan saja basa-basimu,” hardik Enrique alias Puss sambil menghunus pedang
anggar mungilnya. “Aku telah mendapatkan pengakuan raja untuk Daerah Carabas
dan penguasanya yang sah, Marquis dari Carabas. Tak lama lagi pasukan kerajaan
akan mengepung tempat ini. Jadi cepat enyah dari sini sebelum seribu tombak bersarang
di perut buncitmu.”


Sebaliknya, si
raksasa malah tergelak hingga perutnya bergoyang-goyang. “Apa kau lupa
kesaktianku, hah? Jangankan seribu prajurit, dewa dan iblispun bisa kuubah jadi
kucing manis sepertimu, Puss!”


“Sudah kuduga
kau akan berkata begitu. Diego, hati-hati! Ingat baik-baik semua jurus yang
kuajarkan padamu!”


“Ya, guru!”
Diegopun telah menghunus pedang escudonya, Coniferia.
Si raksasa yang amat tambun itu bakal jadi sasaran empuk dua pendekar
anggar ini.


“Haha, lihat
saja nanti, Enrique! Kau dan anak ingusan berpakaian berlebihan itulah yang
akan berserakan, jadi sampah kudapanku! Lihat baik-baik kekuatan gaibku!”


Sambil si
raksasa bicara, wajahnya yang berjanggut pirang berubah menjadi wajah singa
bersurai pirang keemasan. Tubuhnyapun berubah wujud menjadi tubuh singa yang
juga berbulu keemasan.


Setelah
perubahan wujud itu rampung, si manusia raksasa kini telah menjadi seekor singa
yang juga raksasa. Itulah wujud terkuat Ferguso. Selama ini wujud singa itu
hanya digunakan untuk memangsa manusia atau hewan-hewan besar seperti sapi atau
semacamnya.


Puss dan Diego
ternganga. Tak sedetikpun mereka menduga musuh yang mereka hadapi bakal sekuat
ini. Namun mereka tetap siaga.


Puss membisiki
muridnya agar menyebar, mencari kesempatan dan titik lemah musuh, lalu
menyerang secara bergantian. Diego mengangguk dan langsung berlari ke sisi lain
balairung.


Si singa
raksasa mengaum dan menyerang maju. Sasaran yang pertama kali dipilihnya adalah
Puss.


Dengan gesit,
kucing itu berkelit sepenuhnya dari terkaman singa raksasa. Lalu ia memanjat tiang
penyangga balkon, melompat sambil bersalto dan menyengat sisi kiri perut singa
dengan ujung pedang.


Walau rasanya
seperti ditusuk jarum, tak ayal si singa meraung kesakitan. Ia lantas berputar
ke arah lain dan melihat Diego yang juga bergerak mencari celah. Naluri hewani
mendorongnya menerjang ke arah Diego yang kurang pengalaman itu.


Sewajarnya
Diego jadi pucat-pasi melihat sosok mengerikan itu dan lari pontang-panting,
langkahnya kacau. Sesaat kemudian, langkahnya terhenti karena dihadang satu
cakar raksasa. Diego berbalik hendak ke arah lain, namun taring-taring raksasa
malah melesat ke arahnya, hendak melumatnya bulat-bulat.


“Tidak semudah
itu, Ferguso!” Di saat yang tepat, Puss melompat setinggi-tingginya, berpijak
dan mendoncang ke arah lain dari tiang balkon dan melesat ke arah singa itu,
menusukkan pedang anggarnya ke satu sasaran. “Aha! Titik terlemahmu ada di
mata!”


Ternyata si
singa masih punya setitik kecerdasan dalam nalurinya. Dengan refleks ia merunduk,
tak jadi menggigit Diego dan berhasil menghindari serangan Puss itu.


Tak
disangka-sangka, Diego memanfaatkan petunjuk Puss tadi. Ia lantas mengerahkan
salah satu jurus andalan yang ia kuasai, memusatkan seluruh tenaga dalamnya di
satu titik yaitu ujung Pedang Coniferia
dan menusuk lurus, mempertaruhkan segalanya antara hidup dan mati.


 Arah ujung pedang itu semula melenceng
setelapak tangan dari mata besar si singa. Namun kepala si singa raksasa juga
refleks hendak menoleh ke arah Puss, sehingga matanya terhunjam pedang escudo
itu tanpa ampun.


Singa raksasa
meraung di puncak rasa sakitnya, satu matanya kini rusak dan bercucuran banyak
darah. Tak hanya itu, sihirnya jadi luntur dan ia kembali ke wujud aslinya,
yaitu si raksasa tambun, Ferguso.


“Semua sudah
berakhir, Ferguso,” ujar Diego tanpa bermaksud angkuh.


Si raksasa
malah tertawa terbahak-bahak sambil menutupi satu matanya yang berdarah-darah
dengan telapak tangan. “Dasar bocah lugu! Energi sihirku memang terkuras, tapi
aku masih punya cukup untuk satu tipuan terakhir! Habislah kalian!”


Tanpa pikir
panjang, si raksasa kembali berubah wujud, kali ini menjadi seekor tikus.
Harapannya, ia tak akan bisa terlihat oleh para lawannya, mencari kesempatan
untuk mengubah wujud Diego menjadi hewan untuk selamanya, senasib dengan Puss.


“Dasar bodoh.
Kau lupa aku ini apa?” Sambil mengatakan itu, Puss si kucing menerkam tikus
kecil itu dan melahapnya di tempat. “Akulah pengantar dirimu ke akhirat,
Ferguso.”


 Melihat si raksasa penindas akhirnya musnah,
para abdi dan pekerja di Puri Carabas cepat-cepat keluar menyambut Puss dan
Diego. Tanpa bermaksud tak sopan, Puss berseru pada mereka, “Para abdiku yang
setia, mohon bantuan kalian. Bersihkanlah tempat ini secepat mungkin! Aku sudah
mencoba mengulur waktu, menunda kedatangan rombongan raja negeri kita dengan
memberi petunjuk jalan agar si sais berputar-putar dulu sebelum tiba di sini.
Tapi kini Baginda bisa datang setiap saat! Kumohon, cepatlah!”


“Kami
laksanakan sekarang juga, tuanku!” jawab kepala pelayan.


Singkat
cerita, kereta dan rombongan sang raja tiba di depan pintu utama Puri Carabas.


Tanpa
terburu-buru, Puss dan Diego keluar untuk menyambut rombongan. Puss membungkuk
amat rendah sambil berkata, “Selamat datang Yang Mulia, di puri Marquis dari
Carabas!”


Raja Carlos, Putri
Patricia dan Don Diego memasuki puri itu bersama Puss. Malamnya, mereka
menikmati hidangan lezat dalam pesta yang cukup megah.


Sang raja amat
senang dengan Don Diego dan menganggapnya jodoh yang amat baik bagi sang putri
raja. Ia menoleh ke arah Diego dan berkata, “Maukah kau menikahi putriku, Don
Diego?”


Diego
membungkuk hormat sempurna. “Hamba bersedia, Yang Mulia. Sungguh kebahagiaan
dan kehormatan besar bagi hamba menikah dengan Putri Patricia yang cantik
jelita.”


Tak lama
setelahnya, Diego yang kini bernama Don Diego de la Fontana dan Putri Patricia
menikah dan hidup bersama dan bahagia dalam Puri Carabas. Daerah Carabas lalu
memasuki masa kejayaan sebagai daerah pertanian unggulan dan menjadi contoh
bagi daerah-daerah lainnya di Kerajaan Corazon.


Bagaimana
dengan Puss Sepatu Bot? Karena sudah tak bisa lagi kembali ke wujud manusia, ia
sudah cukup puas mendapatkan pewaris yang baik seperti Diego. Puss lantas meninggalkan
Carabas dan menjadi pendekar pengelana, namanya akan melegenda sejauh kisahnya
masih diceritakan sepanjang masa.


Yang pasti,
Puss tak akan pernah mengejar, apalagi memakan tikus lagi seumur hidupnya.





Escudo: Salah satu logam terkokoh di Terra Everna, melebihi baja
dan titanium.





Diadaptasikan ke versi Everna Saga dari dongeng klasik berjudul sama,
“Kucing Bersepatu Bot”.

Comments